Salah satu wujud inovasi dalam bidang Kesehatan adalah ditemukannya alat medical check up yang semakin dapat diaplikasikan secara praktis, bahkan mandiri. Pada sekitar Februari 2023, beberapa media melansir berita tentang alat medical check up mandiri sebagai hasil inovasi 5 mahasiswa UMM. Alat tersebut mampu melakukan pengecekan tinggi badan, mata, tekanan darah, suhu badan, saturasi oksigen, dan swab test.
Kurang lebih 5 bulan sebelumnya, mahasiswa UGM mengembangkan alat deteksi kadar asam urat, kolesterol, dan glukosa yang tidak melukai kulit. Inovasi tersebut merupakan berita gembira bagi sekelompok masyarakat yang takut melakukan pemeriksaan Kesehatan karena takut dengan jarum. Mengingat, beberapa decade terakhir pemeriksaan gula darah, asam urat, dan kolesterol yang dapat dilakukan secara mandiri tetap menggunakan lancet yang melukai tubuh penggunanya.
Dua penemuan tersebut hanyalah sebagian wujud dari apa yang diramalkan koleh Kost (2006), bahwa uji diagnosis akan bergeser pada Point of Care Testing (POCT), yang semakin memerlukan integrasi kolaboratif, konsolidasi informasi, dan optimalisasi pengetahuan. Kemanjuran dan efisiensi menjadi prinsip dalam pemeriksaan ini, dimana diagnosis dan penanganan yang lebih cepat dapat dilakukan dalam menjamin kepuasan pasien maupun dokter.
Tentu perkembangan teknik diagnostic tersebut mengikuti arahan konsep “continuous improvement” yang berkembang secara eksponensial pada era industri modern. Alih-alih memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan, peningkatan mutu diukur melalui suatu luaran yang lebih cepat (Faster) dan mudah, serta sebisa mungkin lebih murah (Cheaper). Dengan demikian, bidang kesehatan yang berbasis pelayanan pun mempunyai peluang besar untuk terjun dalam iklim yang kompetitif ini.
Mengapa bidang kesehatan menjadi bidang yang berbasi pelayanan tersebut sekaligus menjadi komoditas yang menjanjikan bagi dunia industri? Sebuah Rethorika bahwa “Kesehatan Mahal Harganya” menjadi salah satu bahan bakar pentingnya bidang Kesehatan untuk diperhatikan. Retorika tersebut bukan tanpa alasan. Suatu studi empiris yang dilakukan telah meneguhkan suatu pernyataan bahwa biaya Kesehatan yang tidak sedikit muncul akibat ketidak patuhan terhadap perilaku sehat. (Leslie R . Martin and M. Robin DiMatteo, 2014). Setara dengan kajian Martin dan DiMatteo, berbagai kampanye kesehatan seperti dampak negatif rokok, serta pencegahan penyakit tidak menular akibar perilaku masyarakat kerap menggunakan alasan yang sama.
Semestinya berbagai rethorika kesehatan dapat menjadi acuan masyarakat untuk waspada terhadap perilaku kesehariannya. Meskipun tidak menutup kemungkinan untuk menempatkan kesehatan sebagai sebuah komoditas untuk mendukung kepentingan pihak tertentu. Sebagai kilas balik, debat capres dan cawapres 2019 pun mengangkat kesehatan sebagai salah satu topiknya. Tidak menutup kemungkinan akan digunakan kembali dalam pemilu-pemilu selanjutnya di berbagai tingkatan.
Dibalik semakin canggihnya penemuan teknologi kesehatan yang disampaikan diawal, ternyata masih menyisakan paradoks dalam keseharian masyarakat. Padar Maret 2021, Tribunnews menuliskan kisah Kakek 70 tahun di Sukabumi yang menyediakan jasa pengurukuran tekanan darah keliling dengan alat manual. Atau kisah yang lebih ekstrim, pada Agustus 2020 media yang sama mengisahkan penipunan berkedok pemeriksaan kesehatan di daerah Sukoharjo, Jawa Tengah. Kedua kasus di atas memperjelas komodifikasi kesehatan yang beroperasi pada setiap lapisan masyarakat.
Oleh: Stefanus Khrismasagung T, S.Sos., M.I.Kom – Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Nasional