Pernah ketika hendak menunaikan ibadah haji, pesan yang paling mengena dari ayah ialah ketika beliau menceritakan bagaimana kebesaran nama Ibrahim as, Muhammad Saw, Shaikh Abd. Qadir al-Jilani, hingga para waliyullah lainnya yang masyhur. Mereka semuanya memiliki peran yang sangat luar biasa dalam kontribusi sosial, hingga spiritual. Sehingga celoteh mulia keluar dari lisan sang ayah, kamu bangun nasabmu semulia mungkin… !
Apa makna dibalik nasehat tersebut, akhir-akhir ini sangat ramai dan tersisa sedikit mengenai pembahasan mengenai nasab. Hingga sampai memalsukan keberadaan para ahl al-Bayt. Sehingga orang yang tidak mengetahui nasab pun berdalih dan mencoba peruntungannya mengenai pembahasan nasab. Inilah yang sehingga banyak para masyarakat yang tiba-tiba muncul dan keluar, membanggakan para leluhurnya, namun ia lupa bagaimana dirinya.
Keberadaan tersebut secara sosial sangat miris. Sebuah analogi, apabila dikaitkan dengan keberadaan sebuah bangunan, mereka memiliki bahan baku yang berkualitas, namun tidak memiliki keahlian membangun suatu tatanan bangunan secara indah dan megah. Inilah mereka yang saat ini sedang membangga-banggakan nasab.
Hal tersebut menjadi gejolak sosial yang terjadi dan dipublikasikan kepada masyarakat awam yang pada mulanya tidak mengetahui sama sekali mengenai ilmu per-nasab-an. Dampak dari publikasi tersebut juga meresahkan para masyarakat awam baik yang menggeluti dunia maya hingga dunia offline.
Menjadi cambuk bagi mereka, ketika membaca artikel ini, semoga dapat menjawab dalam hatinya masing-masing, apakah mereka sudah sering mendoakan dan menghadiahkan bacaan al-Fatihah setiap bakda sholat fardhu? Apakah ia juga tetap melestarikan untuk menghadiahkan sedekah jariah disetiap saat, setiap bulah atau setiap tahunnya seperti haul, dll?
Pertanyaan ini merupakan pondasi dasar. Sebab penataan pondasi terkuat ialah meletakkan bahan baku terbaik (leluhur) sebagai kaca hikmah bagi hati masing-masing insan. Kebanggaan tersebut tidak perlu dipublikasikan pada khalayak keramaian masyarakat. Cukup dipakai untuk sikap tauladan.
Kemudian bagaimana dengan Nabi Ibrahim as? Beliau meskipun berasal dari orang tua yang sangat masyhur, tapi Nabi Ibrahim as bermujahadah secara mandiri, mencari jati diri secara mandiri, hingga tetap menemukan ciri khasnya sendiri dan menjadi panutan bagi anak keturunannya. Apakah Ibrahim mengandalkan kebesaran ayahnya? Tidak. Karena ia mampu membesarkan anak keturunannya hingga saat ini, dengan jalur mujahadah dan ber-tarekat sebagaimana ajaran pada saat itu. Para keturunannya banyak yang menjadi nabi dari jalur Ishaq as, hingga dari jalur Isma’il menurunkan kebesaran kenabian dan menjadi sayyid al-Anbiya’ wa al-Mursalin, yaitu Muhammad Saw.
Sebuah kesimpulan, usaha kalian tidak akan pernah mengkhianati hasil. Kerja keras kalian saat ini, meskipun kalian berada pada garis keturunan mulia, namun usaha dan kerja keras kalian, pahit dan manis kehidupan bersama masyarakat lainnya, akan menjadi sebuah pondasi yang kokoh untuk membesarkan nama kalian sendiri. Sehingga kalian tidak perlu mengatasnamakan bahwa, saya anak dari si fulan, saya cucu dari si fulan. Cukup kalian tunjukkan portofolio prestasi dan sumbangsih kalian yang bermanfaat bagi masyarakat. Itulah yang disebut sebagi khayr al-Nas.
Surabaya, 10 Desember 2023
Dr. H. Alaika M. Bagus Kurnia PS Basyaiban, M. Pd
Dosen Institut Kesehatan dan Bisnis Surabaya