Wed. Jan 22nd, 2025

Jutaan keberagaman masyarakat Indonesia sejak dari beberapa sektor agama, ras, suku, budaya, sosial, ekonomi, hingga ideologi, merupakan bentuk gambaran dari karakter bangsa. Mereka saling bertetangga, bercengkrama, hingga beribadah, memiliki keterkaitan rohani yang kuat antara satu dengan lainnya.

Konteks toleransi selalu diidentifikasi sebagai bentuk dialog yang sangat sensitif. Sebab selalu berhubungan dengan keagamaan. Begitupula dengan beberapa kasus penistaan agama, banyak yang menyangkut pautkan dengan personal, hingga kelompok yang dijustifikasi menjadi kelompok garis kanan.

Keterkaitan antara satu agama dengan agama lain pada dasarnya sudah final dan tidak ada persinggungan sedikitpun. Ketika mereka berada di suatu daerah yang didominasi oleh agama tertentu, maka saling melindungi dan menghargai, juga dominasi kegiatan beragama di suatu daerah yang tampak bergaung, merupakan sebuah hal yang lumrah. Sehingga bentuk power mayoritas juga menjadi ciri khas dari sebuah daerah tersebut. Sebuah contoh ialah Aceh, mereka sampai diberi julukan serambi Makkah, sehingga beberapa aturan kedaerahan diberlakukan didalamnya. Demikian juga dengan Jawa Timur yang syarat akan pesantren. Sehingga didalamnya tidak lekang oleh kehidupan santri.

Hal tersebut juga lumrah dilakukan di daerah non-muslim seperti Bali, Papua, Manado, NTT, dan sebagainya. Namun beberapa isu yang mampu menarik perhatian masyarakat seperti statement Ahok waktu masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta yang melontarkan ucapan penistaan agama, secara hukum menjadi terdakwah karena ujarannya tersebut, juga demikian dengan keberadaan pembakaran masjid di Papua, hingga pembunuhan beberapa pemuka agama Kristen di Sulawesi. Kesemuanya selalu dikaitkan dengan Agama. Belum lagi kasus Sunni dan Syiah yang ada di Sampang, Madura dan sampai saat ini tidak kunjung selesai.

Beberapa kisah diatas akan naik di permukaan ketika hendak perjalanan kampanye Pilpres 2024. Terbukti bagaimana keberadaan agama selalu mendominasi. Khususnya Islam sebagai populasi terbanyak. Sehingga kelompok ormas Islam juga hendak dikaitkan antara satu dengan yang lain.

Tidak hanya itu, para pemangku agama seperti Ulama, Kyai, hingga Habaib juga dikaitkan tersendiri. Sehingga edukasi masyarakat terkait gagasan, visi dan misi presiden, tidak tersampaikan dengan baik, melainkan hanya sebuah doktrin belaka. Begitupula sebaliknya dengan beberapa kelompok tertentu yang didalamnya terdapat dominasi kader partai. Mereka selalu melakukan pewarnaan ideologi partai, atau bahkan sebaliknya, mereka akan menjelekkan partai pesaing lainnya.

Stereotip masyarakat mulai bermunculan, hingga beberapa kegiatan kampung pun syarat akan perpolitikan. Mereka menjadikan ajang sebagai bahan kampanye, hingga sebagai alat promosi pencalonan legislatif. Suatu misal, kegiatan pengajian, aktivitas malam tahun baru, hingga kegiatan rapat RT atau RW.

Perlu kembali kita membuka bagaimana Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan KPU (Komisi Pemilihan Umum) Menyusun suatu aturan mengenai masa-masa kampanye. Diperbolehkan atau tidaknya, bagaimana cara kampanye yang benar, dimana tempat yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. Hal ini perlu dipasang sebuah pengumuman baik secara online maupun offline di tempat-tempat strategis atau bakal tempat pemungutan suara sejak dini.

Masyarakat membutuhkan edukasi mengenai fungsi dan tugas dari DPR, DPD, hingga Presiden. Karena mereka memiliki hak dalam memilih dan bersuara. Demikian juga dengan visi misi dari setiap calon ataupun Paslon. Bukan hanya menunjukkan tumpangan atau dekengan dari tokoh masyarakat, agama hingga perangkat daerah. Melainkan perlu menunjukkan gagasan tersebut.

Ketika diperlihatkan, tidak memberikan janji, diberikan informasi bagaimana cara menyambungkan aspirasi, maka mereka tidak lagi menggunakan agama, perangkat tokoh, hingga aliran sebagai bahan kampanye. Melainkan cara demokrasi yang sehat akan menunjukkan bagaimana pandangan praktisi politik dalam menyikapi kasus beragama, bagaimana praktisi politik menyikapi aturan pendidikan, ekonomi, pembangunan, sosial, hukum, hingga bidang lainnya.

Beberapa kesempatan akan diambil oleh masyarakat, semuanya berhak untuk memantabkan posisi pekerjaan, karir, hingga ekonomi. Juga demikian mengenai hak dan kewajiban warga akan mampu dipilah dan dipilih untuk keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga warga tidak lagi terlihat kecewa karena janji, menuntut, hingga hilang kepercayaan. Akan tetapi mengetahui seluk beluk, gagasan, dan implikasi kedepannya.

 

Oleh: Dr. H. Alaika M. Bagus Kurnia PS Basyaiban, S. Pd.I., M. Pd.
Dosen Institut Kesehatan dan Bisnis Surabaya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *