Segala sesuatu baik ruang dan waktu itu memiliki keistimewaan. Dari seluruh tempat yang ada di permukaan bumi ini, ada wilayah yang istimewa, yakni Makkah Al-Mukharamah. Dari wilayah Makkah Al-Mukarrahmah ada bagian tertentu yang paling istimewa lagi, yakni Ka’bah Al-Musyarrafah. Ka’bah inilah yang menjadikan Makkah Al-Mukarrahmah menjadi penting bagi kita semua. Disamping telah melahirkan berbagai peradaban kemanusiaan, Ka’bah menjadi kiblat ibadahnya umat Islam dari seluruh dunia. Sehingga Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa shalat di Masjidil Haram Makkah ini bernilai 100.000 kali lipat disbanding dengan shalat di tempat lainnya. Beliau bersabda yang artinya: “Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih utama daripada 1000 shalat di masjid lainnya selain Masjidil Haram. Shalat di Masjidil Haram lebih utama daripada 100.000 shalat di masjid lainnya” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah). Demikian juga waktu dari rangkaian 24 jam dalam sehari ada waktu yang sangat istimewa yakni pada sepertiga malam terakhir. Di saat itulah waktu istimewa dan mustajab bagi kita untuk memanjatkan doa-doa dan pinta kepada Allah SWT. Demikian juga dari 12 bulan dalam setahun ada bulan yang sangat istimewa yakni bulan suci Ramadhan. Lalu mengapa bulan suci Ramadhan ini menjadi bulan yang paling istimewa?
Secara kebahasaan terminologi “Ramadhan” dalam Bahasa Arab itu berasal dari kata dasar “ra-ma-dha” yang berarti panas yang menyengat, panasnya batu, teriknya panas sinar matahari. Oleh karenanya kata Ramadhan itu berarti “Membakar”. Hal ini sesuai dengan hakikat bulan Ramadhan bahwa meskipun di siang hari yang begitu panas menyengat kita tidak diperbolehkan untuk minum dan makan apapun. Sebab Ramadhan pada dasarnya adalah “membakar” dosa-dosa yang pernah kita lakukan. Seorang muslim yang berpuasa, menahan panas dan kelaparan maka haus dan panasnya berpuasa itu merupakan simbol untuk membakar dosa-dosa. Bulan Ramadhan merupakan ruang waktu yang tepat untuk memaksimalkan diri kita menjadi orang yang benar-benar taqwa. Firman Allah menyatakan: “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertaqwa” (QS. Al-Baqarah: 183). Jika dilihat ayat ini di antara tujuan disyariatkannya berpuasa adalah menjadikan diri kita sebagai orang yang taqwa. Apa itu taqwa? Taqwa sesungguhnya adalah suksesnya kita sebagai manusia yang mampu menjalankan fungsi kehambaan kepada Allah dan pemimpin di alam raya. Sebagai hamba manusia diciptakan dengan tujuan untuk beribadah kepada Allah. Hal ini dinyatakan dalam firman-Nya yang artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (QS. Al-Dzariyat {51}: 56). Fungsi kehambaan (abid) relasinya adalah dirinya secara personal kepada Tuhannya. Manusia merupakan makhluk yang diciptakan oleh Tuhan (khaliq) sehingga berkewajiban untuk berterima kasih kepada-Nya. Ia harus patuh, tunduk, tanpa reserve terhadap apapun yang diperintahkan oleh Tuhan. Siapa yang melanggar akan ketentuan itu dinyatakan sebagai orang yang mengingkari akan hakikat dirinya.
Dalam Q.S al-Dzariyat (51): 56 di atas secara tegas dikatakan bahwa manusia merupakan yang diciptakan (makhluk) sedangkan Tuhan sebagai yang menciptakan (khaliq). Keterciptaan manusia ini membuat keharusan bagi manusia untuk beribadah, menyerahkan diri secara total kepada Tuhan. Penyerahan diri kepada Tuhan ini dalam banyak hal tidak mengedepankan validitas secara rasional. Oleh karena itu, jika dinyatakan dalam bentuk garis maka fungsi kehambaan ini dapat digambarkan dengan garis vertical dimana posisi Tuhan berada di atas sedangkan manusia berada di bawah. Patut digaris bawahi bahwa bentuk-bentuk kehambaan ini memiliki muatan dan fungsi-fungsi sosial yang perlu diimplementasikan secara sosial. Sebab, yang membutuhkan penyembahan manusia bukanlah Tuhan, tetapi manusia itu sendiri. Tuhan bukanlah dzat yang memiliki kebutuhan, oleh karenanya Dia tidak bersifat kurang (naqish). Akan tetapi justru manusialah yang membutuhkan akan makna sosial dari bentuk-bentuk kehambaan ini. Oleh karena itu, orang yang berhasil dalam beribadah adalah orang yang mampu memanivestasikan muatan dari praktek ibadah itu dalam ranah sosial. Sebagai pemimpin di alam raya (khalifah fil ardl), manusia adalah makhluk yang diberi kepercayaan oleh Allah Swt. untuk memakmurkan bumi dan alam semesta ini. Relasinya adalah manusia dengan sesama manusia dan dengan alam semesta. Firman Allah menyatakan yang artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (Q.S al-Baqarah {2}: 30).
Sebagaimana makna asal katanya, khalifah disini dipahami sebagai wakil Tuhan untuk mengurus, mengelola, mengayomi, memakmurkan, dan memanfaatkan segala isi yang ada di muka bumi. Disamping itu fungsi kekhalifahan ini juga menegaskan secara meyakinkan akan terbentuknya tatanan pranata sosial yang adil, demokratis, setara, dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Antara satu dengan yang lainnya memiliki relasi yang sama besar dan sama kuat. Di antara mereka tidaklah dianggap sebagai subordinasi. Oleh karena itu, secara historis-sosiologis kehidupan keduniaan harus didasarkan atas kevalidan secara rasional. Jika diwujudkan dalam bentuk gambar maka tugas kekhalifahan ini akan membentuk garis horizontal, ujung satu dengan yang lainnya adalah manusia yang memiliki relasi kesejajaran. Dalam Islam, kedua fungsi di atas harus dapat disinergikan secara seimbang. Tuntutan kehambaan harus dapat diwujudkan secara seimbang dengan tuntutan kekhalifahan. Tidak dianggap sebagai orang yang baik (insan kamil) jika ia hanya mampu menjalankan fungsi-fungsi kehambaannya, sementara fungsi sosial kemanusiaan terbengkalai. Demikian juga sebaliknya, bukanlah orang yang baik jika ia hanya mementingkan tugas-tugas kekhalifahan sementara tugas kehambaannya tidak diaktualisasikan. Dengan demikian, manusia yang bertaqwa adalah manusia yang mampu menjalankan tugas-tugasnya dengan sukses baik sebagai hamba Allah maupun sebagai khalifah di muka bumi secara seimbang. Banyak sekali sindiran Allah Swt kepada orang yang hanya memenuhi salah satu tugas dengan mengabaikan tugas lainnya. Di dalam Islam, ritual ibadah selalu memiliki dua hal yang dilakukan secara integral: formalistik dan substansialistik. Tidak ada ibadah dalam Islam yang hanya dianjurkan secara aspek formalistik semata, demikian juga kebalikannya. Antara formalistik dan substansialistik harus dilakukan secara seimbang. Dalam kasus ibadah puasa, hadis Nabi bersabda yang artinya: “Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga”. Orang yang melakukan ibadah puasa tidak akan mendapatkan balasan apapun disebabkan dirinya tidak mampu membangun harmoni dalam kehidupan sosialnya. Pikiran, gerakan, lisan, dan anggota tubuh lainnya tidak terjaga dari perilaku destruktif. Meski berpuasa, jika lisan dan tindakannya tidak terkontrol maka tidak akan mendapatkan balasan apapun. Oleh karenanya, orang yang berpuasa hendaknya lisannya juga terjaga dari umpatan-umpatan, caci maki dan ujaran kebencian, di berbagai kesempatan, terlebih dalam forum keagamaan. Jangan sampai ruang keagamaan yang bersifat sacral itu dikotori dengan ujaran kebencian yang justru menghilangkan kesucian dalam beribadah. Orang yang berpuasa hendaknya mampu menunjukkan sikap kasih sayang terhadap sesama ,menghargai dan menghormati kepada orang lain. Alasan lainnya mengapa bulan Ramadhan menjadi istimewa adalah karena bulan Ramadhan yang didalamnya dilakukan ibadah puasa itu merupakan media efektif untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dalam teori tasawuf dijelaskan bahwa manusia itu terdiri atas 2 unsur, yakni unsur nasut (kemanusiaan) dan unsur lahut (ketuhanan). Unsur lahut merupakan sifat-sifat yang baik (immaterial), seperti kesucian, keabadian, kedamaian, kebaikan, ikhlas, menghargai, empati, jujur, dan lainnya. Sementara unsur nasut merupakan sifat-sifat materialistik-hedonistik yang melekat pada manusia, seperti sikap hidup hedonis, berorientasi pada materi, pamrih, permusuhan, adu domba, ketegangan sosial, dan lainnya. Ibadah puasa sesungguhnya memfanakan unsur nasut, dan dalam waktu bersamaan membaqakan unsur lahut. Puasa itu menimalisasi bahkan menghilangkan sikap hedonistik-materialistik, adu domba, caci maki, ujaran kebencian, dan lainnya juga dalam waktu bersamaan mengaktifkan orientasi yang bersifat keabadian, kebaikan, kedamaian, kejujuran, kelemahlembutan, empati, menghargai orang lain, dan lainnya. Jika sifat-sifat Tuhan atau unsur-unsur lahut yang terbiasa di dalam diri kita maka potensi kita untuk semakin dekat dengan Allah Swt semakin tinggi. Oleh karenanya, kita bisa memahami mengapa kemudian Rasulullah Saw menyampaikan hadits Qudsi sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, yang artinya: “Setiap amal anak Adam untuknya, kecuali puasa. Ia untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya”. Inilah kandungan yang luar biasa di dalam ritualitas ibadah puasa. Dengan memahami hakikat dan kandungan yang luar biasa dari ibadah puasa itu, maka sudah sewajarnya Allah Swt menempatkan bulan Ramadhan sebagai bulan yang sangat istimewa. Bahkan karena keistimewaannya itu, Allah Swt memberikan hadiah bagi kita yang mau mengisinya dengan kebaikan-kebaikan. Di bulan Ramadhan-lah pintu-pintu ampunan dan kasih sayang Allah terbuka lebar. Di dalamnya ada malam yang lebih baik dari seribu bulan. Di siang hari, diwajibkan berpuasa, sementara di malam harinya disunnahkan untuk memperbanyak shalat malam. Di bulan ini, melakukan satu kewajiban itu berpahala seperti menjalankan 70 kewajiban di bulan lainnya. Atas besarnya keagungan Ramadhan ini, Nabi menyampaikan, “Seandainya semua manusia mengetahui besarnya rahmat yang diturunkan di bulan Ramadhan, pasti mereka mengusulkan agar setahun penuh berisi Ramadhan.”
Penulis Profil :
Penulis
Fuad Dwi Artha, C.DMP, S.Pd lahir di Kota Madiun Provinsi Jawa Timur pada bulan September tahun 1997. Anak kedua dari dua bersaudara. Riwayat Pendidikan dari tingkat SD Negeri 2 Josenan Kota Madiun, lalu SMP Negeri 4 Kota Madiun, selanjutnya SMA Negeri 5 Kota Madiun jurusan IPA, dan kuliah menempuh sarjana di Kampus Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Kota Surabaya jurusan Pendidikan dan sekarang sedang menempuh Pascasarjana di UHAMKA jurusan Pendidikan dan kampus UT jurusan Ilmu Komunikasi. Kesibukan lain bekerja honorer di SMK Negeri 5 Kota Madiun. Tuangkan Prestasi Bukan Sensasi untuk generasi muda yang lebih bermanfaat untuk orang banyak |