Fri. Dec 5th, 2025

Takdir Allah Swt., secara konsep pastilah baik meskipun secara mata manusia kurang tepat. Takdir sebagai bentuk ketetapan dan keputusan-Nya kepada semua ciptaan-Nya yang terdiri atas takdir baik dan takdir buruk. Takdir baik belum tentu menjadikan manusia baik, takdir buruk juga belum tentu menjadikan manusia buruk. Sebagaimana firman-Nya:

وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ

Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2] ayat 216).

Syaikh Nawawi al-Bantani menuturkan, surah al-Baqarah [2] ayat 216 bermakna hanya Allah swt Yang Maha Mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk, sedangkan manusia tidak mengetahuinya secara pasti. Oleh karena itu, tanpa pengetahuan yang pasti seseorang tidak boleh memaksakan pendapat pribadi, terutama berkaitan dengan ketentuan Allah. Yang seharusnya terjadi adalah ia melaksanakan ketentuan tersebut sesuai dengan tuntunan-Nya.

Kebaikan dan keburukan di mata manusia tidaklah sama dihadapan-Nya, bisa jadi yang manusia lihat baik, dihadapan Allah buruk. Sebaliknya, di mata manusia buruk, dihadapan Allah baik. Oleh sebab itu, seharusnya posisi kita ialah menerima dengan Ikhlas dan lapang dada takdir baik maupun buruk. Sebagaimana syair di bawah ini:

عَلَى الْمَرْءِ أَنْ يَسْعَى إِلَى الْخَيْرِ جُهْدَهُ

وَلَيْسَ عَلَيْهِ أَنْ تَتِمَّ الْمَقَاصِدُ

Seseorang seharusnya berusaha sekuat tenaganya mendapatkan kebaikan

Tetapi, ia tidak akan bisa menetapkan keberhasilannya.

Kita manusia sejatinya hanya bisa berusaha dan berjuang, tetapi kita tidak punya posisi untuk menetapkan hasil. Kita diajarkan Allah untuk terus berjalan biarlah keputusan ada di tangan-Nya. Sesuai firman-Nya:

فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

Mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa’: 19).

Manusia yang beragama tidak boleh “menentang” apa yang sudah digariskan agar hati tidak kotor dan gelap. Belajar untuk menerima meskipun tidak sesuai dengan keinginan hati, agar hati selalu tersinari hidayah Allah dan menemukan kebahagiaan sejati, sesuai hadits Nabi Saw:

مِنْ سَعَادَةِ ابْنِ آدَمَ رِضَاهُ بِمَا قَضَى اللهُ، وَمِنْ شَقَاوَةِ ابْنِ آدَمَ سَخَطُهُ بِمَا قَضَى اللهُ

Artinya, “Termasuk keberuntungan anak Adam adalah kerelaannya terhadap apa yang telah Allah tetapkan baginya, dan termasuk kesengsaraan anak Adam adalah sikap benci (tidak menerima) terhadap apa yang telah Allah tetapkan baginya.” (HR At-Tirmidzi).

Kemudian, sebagai penambah Imam Al-Ghazali dalam kitabnya “Ihya’ al-Ulumuddin” menjelaskan bawha berdoa bukan berarti tidak ridha atas ketetapan-Nya (takdirnya). Artinya, berdoa sebagai upaya—ikhtiar ruhani manusia disamping kasab-nya (usaha) fisiknya. Oleh sebab itu, takdir harus dipandang dan dipahami secara bijak, komprehensif dan penuh dengan hati-pikiran yang lapang. Semoga bermanfaat…!

Oleh: Dr. Muhamad Basyrul Muvid, M.Pd.
Dosen Univesitas Dinamika Surabaya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *