Dasar menulis artikel ini berangkat dari minimnya daya literasi masyarakat Indonesia. Yaitu 0,0001 %, mereka enggan membaca. Mereka enggan untuk mencermati, bahkan pada tingkatan analisis. Sehingga sudah barang tentu masyarakat Indonesia pada saat ini masih bersikap konsumtif.
Pada tahapan pemilihan umum, menjadi pangkal utama daripada dampak negatif kegiatan politik, hingga pada akhirnya menjadi hal yang wajar. Money politic, hingga pada kalimat janji atas pemberian berupa barang atau aksesoris komunitas diberikan untuk memenuhi kepuasannya saja.
Selanjutnya, kegiatan tersebut sampai saat ini masih berjalan dan berlanjut. Belum ada pembenahan beberapa hal yang sangat penting dan berkelanjutan menjadi pembahasannya. Alasannya, ketika ada yang simple, kenapa harus menjadi ribet? Yah, itulah gambarannya. Sehingga kursi kepemimpinan, baik di legislatif hingga ekesekutif daerah masih memerlukan peran tenaga ahli, hingga staff ahli. Idealnya, kalau mereka ahli dalam perpolitikan, kenapa harus membutuhkan tenaga ahli?
Opini sederhana tersebut juga perlu diperbaiki secara mendasar. Terutama melalui jalur rumah tangga. Kaum perempuan menjadi faktor dan pondasi utama pemilihan umum. Sebab, pemilih di kota Surabaya sebanyak 2.218.586 pemilih. Artinya potensi suara di kota Surabaya bagi pemilih perempuan pastinya lebih besar daripada laki-laki. Seharusnya, ketika pemilih perempuan lebih banyak, maka tanggung jawab politik juga harus bersama-sama. Bukan hanya memilih, kemudian meminta, dan bahkan menuntut.
Fenomena pemilih perempuan juga terjadi ketika mereka melakukan kaplingisasi pilihan. Artinya, ketika kelompok ibu-ibu sudah pernah mendatangkan kampanye oleh calon A, maka calon B seakan-akan tidak ada ruang untuk memberikan informasi pilihannya. Juga demikian membanding-bandingkan juga dapat memicu menjatuhkan pilihannya. Seperti mereka hanya membenarkan dan mengunggulkannya, kemudian calon lainnya selayaknya banyak kekurangan. Hal tersebut mengarah pada black campaign.
Keyakinan tersebut juga muncul, pasti ada aktivis partai politik dari kalangan ibu-ibu yang begitu vocal selalu meneriakkan jargon pilihan pemimpin yang direkomendasikan oleh partainya. Sehingga ini juga terkadang menjadi toxic tersendiri didalam lingkungan politik praktis tingkat rendah.
Demikian juga perlu adanya tanggung jawab bersama dengan cara ekspansi. Ekspansi ini ialah menebarkan informasi mengenai calon pemimpin daerah. Seperti memberikan keterangan bagaimana rekam jejak beberapa calon pilihan tersebut, keunggulannya seperti apa, kekurangannya seperti apa. Agar keterbukaan tersebut menjadi pelajaran dan pertimbangan. Selanjutnya ialah pilihan tergantung pada hati Nurani masing-masing tanpa ada jerat perasaan dan penjara pola pikirnya.
Oleh:
Alaika M. Bagus Kurnia PS