Dalam tradisi Aceh, sebutan “panglima” biasanya mengacu pada pemimpin militer atau tokoh yang memiliki otoritas dalam urusan keamanan dan kesejahteraan rakyat. Salah satu gelar yang terkenal adalah “Panglima sagoe,” yang merupakan panglima perang yang sangat dihormati dalam sejarah Aceh. Panglima dalam konteks ini bukan hanya seorang pemimpin militer, tetapi juga sering kali memainkan peran penting.
Panglima sogoe adalah pimpinan masing-masing sagoë (sagi) yang merupakan wilayah kerja administrasi pemerintahan di masa kerajaan Aceh yang terletak di bagian barat selatan dan timur kerajaan Aceh. Panglima Sagoe ini berfungsi untuk menjalankan roda pemerintahan kerajaan agar berjalan sebagaimana mestinya dibawah pimpinan negeri atau Ulee Balang. Penyebutan Panglima Sagoë merupakan gelar kehormatan yang diberikan kepada keturunan bangsawan atau seseorang yang memiliki jabatan untuk pimpinan sagi, seperti penyebutan salah satu tokoh yaitu Panglima Teuku Umar.
Teuku umar merupakan seorang pahlawan yang berjuang melawan kolonialisme Belanda di Aceh yang berlangsung sejak 1873 hingga menjelang masuknya Jepang ke Indonesia sekitar tahun 1942. Teuku Umar yang bernama lengkap Teuku Umar Johan dilahirkan di Meulaboh, Aceh Barat. Ayah Teuku Umar bernama Achmad Mahmud yang berasal dari keturunan Uleebalang Meulaboh.
Pertempuran antara Belanda dan pasukan Teuku Umar berlangsung dari tahun 1875-1899. Pada tahun 1883 keduanya sempat berdamai, tetapi satu tahun kemudian perang kembali berkobar. Belanda menggunakan persenjataan senapan, sementara pasukan Teuku Umar menggunakan rancong. Pasukan Teuku Umar banyak yang mati tertembak. Walau demikian, pasukan Teuku Umar tidak gampang menyerah. Pada pertempuran berikutnya pasukan Teuku Umar berhasil menghadapi musuh dengan menyerang kapal Hok Centon, milik Belanda. Kapal tersebut berhasil dikuasai pasukan Teuku Umar, nahkoda kapal yang bernama Hans tewas dan kapal diserahkan kepada BElanda dengan uang tebusan 25.000 ringgit. Sejak saat itu Teuku Umar pun semakin dikagumi oleh rakyat Aceh.
Dalam tradisi Aceh, masih memegang erat sebutan panglima untuk setiap pemimpin atau ketua dalam suatu kelompok. Ketua kelompok disebut “panglima” dalam tradisi Aceh karena istilah tersebut mengandung makna kepemimpinan, otoritas, dan tanggung jawab besar, yang sangat dihormati dalam budaya Aceh. Kata “panglima” berasal dari istilah yang merujuk pada seorang pemimpin militer, namun dalam konteks yang lebih luas, panglima juga dapat merujuk pada pemimpin.
Dalam tradisi Aceh, seorang panglima tidak hanya bertugas memimpin dan mengatur strategi perang, tetapi juga bertanggung jawab atas kesejahteraan dan keamanan masyarakat yang dipimpinnya. Mereka dianggap sebagai figur yang memiliki kearifan, keberanian, dan kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat demi kepentingan kelompok atau masyarakat.
Selain itu, panglima dalam tradisi Aceh sering kali juga memiliki peran dalam menyelesaikan perselisihan dan konflik internal di antara anggota kelompok. Mereka berfungsi sebagai mediator dan penengah yang bijaksana, menggunakan pengetahuan dan pengalaman mereka untuk menjaga harmoni dan kerukunan di dalam komunitas.
Seperti dalam kegiatan KKN Serumpun Melayu V 2024 yang diadakan di daerah Aceh tepatnya Aceh Tamiang dan Aceh Timur, berbeda dengan kelompok KKN lainnya, setiap Ketua kelompok disebut sebagai “panglima”. Hal ini dikarenakan setiap pemimpin dalam kelompok tersebut harus mampu memimpin, bertanggung jawab atas keamanan dan kesejahteraan anggota kelompok, sebagai figur yang memiliki kualitas-kualitas tertentu seperti kejujuran, integritas, keberanian, dan kebijaksanaan. Tidak hanya itu, panglima kelompok juga diharapkan mampu mengatasi perselisihan dan masalah yang terjadi didalam kelompok tersebut.
Panglima juga sering kali memiliki hubungan erat dengan kesultanan atau pemerintahan lokal. Mereka bisa menjadi bagian dari struktur pemerintahan yang lebih luas, bekerja sama dengan raja atau sultan dalam mengelola wilayah dan masyarakat.
Dengan demikian, gelar panglima yang disematkan pada ketua kelompok pada kegiatan KKN Melayu Serumpun V 2024 bukan karena menunjukkan kepemimpinan militer, tetapi juga kepemimpinan yang lebih komprehensif yang mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat Aceh. Secara keseluruhan, sebutan panglima bagi ketua kelompok dalam tradisi Aceh mencerminkan peran penting dan multifaset yang dimainkan oleh pemimpin tersebut, baik dalam konteks kebutuhan internal dan eksternal anggota kelompok demi mewujudkan kesejahteraan anggota.
DAFTAR PUSTAKA
- Permata, Nilam. 2021 Teuku Umar Panglima Perang Aceh Cerdik dan Pantang Menyerah. Sulthan Press, Jakarta
- Santoso. Teduh, dkk Relevansi Terminologi Struktur Masyarakat Aceh Terhadap Warna Kebangsaan Indonesia, 2013, Gramatika, Vol. 1, No. 1
- Taqwaddin, 2009 Gamppong Sebagai Basis Perdamaian Makalah Lokakarya Perumusan Metode Penerapan Nilai-Nilai Kearifan Lokal untuk Mewujudkan Perdamaian Berkelanjutan di Aceh, Banda Aceh
- Tripa. Sulaiman 2009 Pembagian Peran Lewat Lembaga Adat Gampong.
- https://id.m.wikipedia.org/wiki/Panglima_Sagoe
Oleh:
Annisatul Ahyar Batubara, Mahasiswa Universitas Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Program Studi Tadris Matematika.
Email : annisatulahyar10@gmail.com
Instagram : anisatulahyar